Senin, 20 Februari 2012

Sekilas cerita tentang Bordir di KUDUS

Kudus (ANTARA News) - Sejak awal 1970-an, kerajinan bordir berkembang pesat dan menjadi industri rumah tangga di Kudus, dengan pangsa pasar utama kalangan menengah atas.

Bordiran dengan mesin jahit manual, yang dikenal dengan bordir ichik, terbilang barang mahal akibat pembuatannya memerlukan waktu lama, dua pekan hingga beberapa bulan.

Sri Amini, pemilik usaha Bordir Sri Rejeki di Desa Karangmalang, Kecamatan Gebog, Kudus, mengatakan, harga setiap potong baju berbordir ichik berkisar Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta, sesuai motif dan ukuran bordirannya.

"Semakin sulit dan besar ukuran desain bordirannya, maka harga jualnya juga semakin mahal," ujarnya.

Keunggulan bordir ichik, kata dia, bordirnya lebih kuat dan tidak mudah rusak dibandingkan dengan produk yang dikerjakan dengan mesin bordir modern atau secara komputerisasi.

Selain itu, kata dia, motif bordir yang sulit dan paduan warna yang banyak hanya bisa dikerjakan secara manual.

Pengerjaan bordir ichik, katanya, memang membutuhkan keahlian dan ketelitian, serta kesabaran dalam mengerjakannya, karena prosesnya hanya menggunakan mesin jahit manual.

Karena memiliki keunggulan itu, para pengrajinnya tetap bersemangat dan tidak gentar menghadapi perdagangan bebas Asean-China.

Para pengrajin, kata Sri, tidak gentar pada serbuan bordir asal China, yang umumnya merupakan produk hasil komputerisasi.

"Pasalnya, kami memiliki pangsa pasar sendiri, yang sulit disaingi oleh produk bordir dari China," ujarnya.

Pengarajin bordir dan batik Desa Karangmalang Yuli Astuti, menyatakan, tidak banyak negara lain yang memiliki pengrajin bordir seperti yang dilakukan di Kudus.

"Setiap kami memasarkan produk di Jakarta, sebagian besar calon pembeli sudah mengenal produk bordir dari Kudus karena kekhasannya, yaitu masih dikerjakan secara manual," ujarnya.

Sebagian besar pembeli, kata dia, lebih menyukai bordir yang dikerjakan secara manual dibandingkan dengan sistem komputerisasi atau dengan mesin jahit modern, karena kualitas dan desainnya juga lebih variatif.

"Di Kudus, pengrajin bordir manual masih cukup tersedia. Namun, perlu dikembangkan untuk mencari bibit baru yang akan meneruskan usaha bordir ichik ini," ujarnya.

Pelatihan perlu dilakukan sejak dini, kata dia, guna mengenalkan generasi penerus kepada bordir ichik, yang merupakan kerajinan khas Kudus.

"Tanpa ada pelatihan dan upaya penjaringan bibit baru, bordir ichik yang sudah dikenal di Indonesia sejak lama nantinya tinggal nama," ujarnya.

Kendala pemasaran
Sri Amini, yang juga ketua perkumpulan pengrajin bordir "Teratai Jaya", mengaku, sebagian besar pengrajin bordir ichik kelas rumah tangga masih menghadapi kendala pemasaran.

"Sehingga, mereka sulit berkembang dan bersaing dengan kelas industri," ujarnya.

Menurut dia, untuk melestarikan bordir ichik, perlu adanya upaya membantu pemasaran para pengrajin yang tersebar di sejumlah daerah di Kudus.

"Jika ada pihak-pihak yang membantu memfasilitas pemasaran produknya, tentu akan semakin menghidupkan kerajinan bordir ichik khas Kudus," ujarnya.

Kalaupun Pemkab Kudus memfasilitasi pengrajin untuk berpromosi ke sejumlah daerah melalui kegiatan pameran, kata dia, sebaiknya tidak ada pungutan biaya apapun.

"Pasalnya, permodalan yang dimiliki pengrajin bordir skala rumah tangga atau kelas menengah masih terbatas," ujarnya.

Khusus untuk pengrajin bordir kelas industri, kata dia, tidak ada persoalan dengan proses pemasarannya."Saya memiliki pangsa pasar tetap, di wilayah Jateng, Jakarta, dan Bali," ujarnya.

Khusus untuk pemasaran di wilayah Bali, katanya, produk bordir khas Kudus tidak hanya dinikmati konsumen domestik.

Untuk merintis wilayah pemasaran hingga ke sejumlah daerah, kata dia, dibutuhkan kerja keras, terutama harus selalu berinovasi menciptakan desain bordir yang benar-benar baru.

Wajar saja, kata dia, perusahaannya menerima order pesanan pakain kantor dengan motif bordir dari sejumlah perusahaan terkemuka dari wilayah Kudus, Semarang, dan Yogyakarta dalam jumlah ratusan potong.

Keraguan sejumlah pihak yang menganggap bordir ichik tidak bisa dibuat dalam jumlah banyak, menurut dia, tidak benar.

"Pasalnya, perusahaan saya berulang kali mengerjakan pesanan hingga ratusan potong baju seragam kantor dengan desain sama dan kualitas tidak jauh berbeda," ujarnya.

Misal, pesanan 560 seragam dengan motif bordir bisa diselesaikan dalam waktu kurang dari dua bulan dengan jumlah tenaga kerja 60-an orang.

"Sebelumnya, kami membuat contoh motif sesuai pesanan. Kemudian, semua pekerja diajarkan teknik pengerjaannya, agar kualitas yang diperoleh tidak berbeda," ujarnya.

Untuk mengerjakan pesanan seragam kantor, kata dia, motif bordirnya memang tidak banyak, sehingga proses pengerjaannya tidak membutuhkan waktu lama.

Menurut dia, setiap pengrajin bordir harus memiliki inovasi yang selalu baru guna menciptakan desain baru dan produk baru di bidang bordir.

"Hal ini, juga bertujuan untuk meminimalisir terjadinya kasus penjiplakan hasil karya orang lain," ujarnya.




Bordir Sri Rejeki


Interview pemilik Sri Rejeki


Hasil jadi Sri Rejeki Bordir


Hasil jadi Sri Rejeki Bordir


Hasil jadi Sri Rejeki Bordir


Hasil jadi Sri Rejeki Bordir


Ruang Produksi BSR


Ruang Produksi BSR


Ruang Produksi BSR


Ruang Produksi BSR
Barang jadi

 
Desa Wisata
Menanggapi keluhan pengusaha bordir ichik yang kesulitan memasarkan produknya, Pemkab Kudus berencana membangun desa wisata di Desa Padurenan, Kecamatan Gebog.

Untuk mewujudkan rencana tersebut, Pemkab Kudus mengajukan dana pengembangan beberapa terminal di kota ini kepada Pemerintah Pusat sebesar Rp 53 miliar.

Bupati Kudus Musthofa Wardoyo mengatakan, pengajuan dana pengembangan terminal tersebut akan dialokasikan untuk mengembangkan prasarana pada empat terminal serta untuk pembangunan terminal baru.

Terminal baru yang akan dibangun dan diperkirakan menghabiskan dana sekitar Rp 12,3 miliar itu berada di Desa Padurenan, yang akan dirintis menjadi desa wisata.

Terkait Terminal Padurenan, Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informasi Kabupaten Kudus Mas`ud mengatakan, perlu segera direalisasikan, sekaligus untuk mendukung program pemerintah kabupaten yang akan menjadikan Padurenan sebagai Desa Produktif.

Berdasarkan data yang ada, di Desa Padurenan terdapat 175 unit usaha menengah kecil dan mikro bidang konveksi dan bordir.

Dengan dibangunnya terminal, menurut dia, diharapkan akses kunjungan wisatawan akan semakin mudah. Seperti wisatawan yang hendak atau pulang ziarah ke Makam Sunan Kudus atau Sunan Muria, bisa diarahkan ke Padurenan.

Sebagai langkah awal, katanya, pihaknya sudah mengajukan ke Pemprov Jateng melalui bantuan gubernur sebesar Rp 700 juta.

Dana sebesar itu rencananya akan digunakan membangun pagar yang mengelilingi lahan yang akan dibangun sebagai klaster seluas 4,2 hektare.

Selain itu, Bank Indonesia dan Bank BPD Jateng cabang Kudus juga menyatakan kesediaannya membantu pengembangan pengrajin di Desa Padurenan.

Aji, pengusaha bordir kelas menengah kecil, menyatakan siap untuk menyukseskan kawasan wisata bordir dan konveksi.

Selain memperoleh berbagai bentuk pelatihan, seperti manajemen usaha, kualitas produk, pemasaran, dan desain, Aji mengaku mendapat bantuan modal dari sejumlah penyandang dana.

Dinas Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Kudus juga memberikan sejumlah fasilitas berupa keikutsertaan pameran di sejumlah tempat dan fasilitas ruang pamer untuk pemasaran produk unggulan di Kudus.

Selain itu, kata Sri Amini, pengrajin juga menyadari bahwa bordir ichik tidak bisa diandalkan sepenuhnya untuk menjadi sumber ekonomi bagi pengrajin kecil.

Bagaimanan pun, kata dia, mereka juga memerlukan bantuan mesin bordir modern agar bisa menghasilkan produk murah dan sekaligus memperluas pasar.

Yahya, pengusaha bordir dari Kecamatan Dawe membenarkan, usaha bordir ichik harus ditopang dengan usaha lain agar mereka tetap bisa bertahan. Produsen Batik Kudus patut berbangga hati, sebab produk batik khas Muria ini mulai dilirik pasar luar negeri. Utamanya, batik klasik dengan warna alam. Memang jenis batik ini tergolong langka, tetapi justru banyak peminatnya, terutama para wisatawan.


Hal ini tentunya menjadi keuntungan bagi sejumlah perajin batik klasik warna alam khas Kudus. Beberapa pengrajin batik Kudus ini diantaranya, Yuli Astuti, Malik, serta Uma. Ketiganya adalaha perajin batik asal Desa Karangmalang, Kecamatan Gebog Kudus. Mereka mengaku pada awal tahun ini sudah banyak menerima order batik motif klasik dari berbagai wilayah yang saat ini justru didominasi oleh pasar luar negeri.

"Motif klasik sebenarnya sudah ada sejak dulu, namun kini sudah mulai tren kembali, dan peminatnya berasal dari luar negeri," terang Yuli. Dia menjelaskan, proses pembuatan batik klasik memang cukup rumit, sebab dalam melakukan proses pewarnaan serta motif gambarnya cukup kompleks. Sehingga, memunculkan komposisi yang unik dan menarik. "Penekanannya selain motif gambar, yaitu warna yang dihasilkan harus proporsional, dan tentunya proses tersebut memakan waktu yang cukup lama," ujarnya. 

Tak jarang, hal ini membuat sejumlah konsumen harus menunggu lama dalam setiap pemrosesannya. "Hal ini bukan semata mata prosesnya terlalu akan tetapi kami tetap mengedepankan soal kualitas yang selalu menjadi prioritas," jelasnya.

Ditanya soal harga, dia mengatakan berkisar antara Rp 2 juta - Rp 5 juta, tergantung dari ragam corak serta bahan yang digunakan. "Oleh karena itu kami membidik segmen menengah atas yang kini telah menjadi incaran pasar luar negeri, terutama negera Eropa, seperti Belanda, Inggris serta Jerman," ungkapnya.


Hal senada disampaikan Uma. Dikatakannya, meski telah menjadi incaran pasar luar negeri, namun tetap melayani pembelian dari wilayah lokal. "Sebenarnya segmen kami tidak terbatas, hanya saja tren batik klasik kembali muncul sehinga ini menjadi fokus kami untuk memproduksinya kembali," tuturnya.

0 komentar:

Posting Komentar